New: Buku “Persembahan Cinta untuk Ayah dan Bunda” dibukukan! :)

New: Buku “Persembahan Cinta untuk Ayah dan Bunda” dibukukan! 🙂

Tersedia dalam 5 cover dan kemasan yang berbeda.

Judul : Persembahan Cinta untuk Ayah dan Bunda
Tebal : 310 halaman
Penerbit : UKKI Press.
Percetakan : Pelangi Inspirasi
Penulis : Afsir Mlajah, dkk
Cover : Afrizal
Harga : Rp. 38.000,00

Pesan : Ketik Persembahan Cinta_Nama Lengkap_Alamat Lengkap_Nomor yang bisa dihubungi_Jumlah Pesan kirim ke 089 617 549 302 (Halimah)

Contoh:
Persembahan Cinta_Rizky Kezyawati_Jalan Colombo No 45 Yogyakarta 55281_085xxxxxx_5 buah

—————————————————————-

Kautahu? Bagaimana jadinya bila guru yang kaukagumi itu berada satu atap denganmu? Bagaimana jadinya bila seseorang yang sangat kauhormati itu selalu mengawasimu? Bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah! Itulah yang kualami. Entah aku harus bersyukur atau tidak, apakah aku bisa menerimanya atau tidak, hal lain yang harus kuakui adalah, guruku, lelaki yang sangat kukagumi itu tak lain dan tak bukan adalah Bapak -begitulah aku memanggilnya-, ayahku sendiri.

“Enak ya jadi anaknya Pak Guru”, celetukan semacam itu sudah menjadi makanan favoritku setiap kali aku mendapat rangking nomor satu di bangku SD dulu. Aku hanya tersenyum simpul mendengarnya.

“Jangan dihiraukan,” pesan Bapak padaku. “Meski pun kamu bukan anakku, kamu pasti bisa membuktikan bahwa kamu bisa. Meski pun aku bukan gurumu, kamu tetap masih bisa membuktikannya. Semuanya tergantung dari jerih payah. Kerja keras itu penting,” ucapnya datar. Matanya berkaca-kaca.

(Arti Diammu, Afsir Mlajah)

Tentang dua mata air yang tak pernah berhenti mengalirkan kasih sayangnya; apa yang sudah kita persembahkan untuk membalas cintanya? Tentang Ayah, Tentang Ibu; atau apapun kau memanggilnya. Cerita-cerita Inspiratif yang juga merupakan 25 karya terbaik dalam Lomba Menulis Kisah Inspiratif Islamic Journalist Festival #2 yang diadakan oleh LDK UKKI Jama’ah Al Mujahidin Universitas Negeri Yogyakarta ini akan mengajak kita berkelana bersama memaknai cinta: Ayah, Ibu, ananda mencintai kalian berdua karena Allah!

———————————————————————————

“Tamam, maafin Ibu ya. Kalo aja Ibu gak telat bawa Tamam ke rumah sakit, pasti gak bakal sampe parah kayak gini.”

Ibu ini bicara apa. Padahal, aku sakit begini karena teledor dalam menjaga kesehatan diri sendiri. Semua sama sekali bukan salah Ibu. Tapi salahku. Seandainya saja aku bisa menjaga pola makan secara teratur. Seandainya saja aku tidak sok jago dalam melaksanakan tugas-tugas. Seandainya saja aku tidak membiarkan kondisi tubuhku ngedrop sehingga memudahkan nyamuk aedes aegypti itu menularkan virus denguenya padaku.

Air mata Ibu tak perlu tumpah seperti ini.

“Harusnya Ibu gak usah dengerin kata-kata dokter di klinik 24 jam yang murahan itu. Harusnya Ibu tahu, ngeliat kondisi Tamam yang udah kayak gitu, emang udah harus dibawa ke rumah sakit. Maafin ibu, mam. Maafin ibu . .”

Cukup, bu. Cukup. Tamam yang seharusnya minta maaf. Tamam yang salah, sudah merepotkan Ibu selama beberapa hari terakhir. Seharusnya malam ini kita bisa tidur nyenyak di kamar masing-masing. Bukannya malah saling menyesal dan menyalahi diri sendiri.

(Isak Tangis Ibunda, Muhammad Tanfidz Tamamuddin)

———————————————————————————

Yusuf ingin berhenti sekolah Kak Nu”

“Hah? Apa?” seketika aku terkejut. Menatap adikku dengan raut wajah tak percaya.

“Yusuf ingin berhenti sekolah dan fokus menghafal Al-Qur’an kak..” ulangnya.

“Kenapa? Kenapa harus berhenti sekolah?”

“Berat rasanya kalau harus ke sekolah setiap hari. Waktuku untuk menghafal hanya sedikit. Pikiranku juga bercabang-cabang, tidak bisa fokus menghafal. Aku ingin tinggal di pesantren itu dan fokus menghafal, agar bisa jadi hafidz Al-Qur’an” jawabnya kemudian.

Aku terkejut ketika menyadari bahwa adikku tidak main-main dengan perkataannya. Berhenti sekolah untuk menghafal Al-Qur’an? Itu adalah hal yang terdengar tabu di keluarga kami. Bagaimana tanggapan ibuku dan kakak-kakakkku? Terlebih lagi ayahku, yang selalu menomor satukan pendidikan, aku tak berani membayangkan reaksinya.

“Kamu yakin?” hanya itu yang mampu kutanyakan.

“Insyaallah kak. Aku sudah memikirkannya matang-matang dan sholat istikharah..” jawabnya mantap. Aku terdiam sesaat

“Tapi… sebaiknya jangan berhenti sekolah, Suf. Ayah dan Ibu pasti akan kecewa dengan pilihanmu itu. Kamu mau mengecewakan mereka?” tanyaku lagi.

(Jubah Kemuliaan untuk Ayah dan Ibu, Nurhijrianti Akib)

———————————————————————————

Siapa sangka saya bisa menghapal 30 Juz Al Qur’an dalam rentang 2 tahun? Coba saja jika Anda menanyakan pertanyaan tersebut 6 tahun yang lalu, niscaya saya berani menjamin tak akan ada satu orang pun yang akan menjawab ‘Bisa’. Termasuk diri saya sendiri.

Kok bisa? Tentu saja, kawan. Tahun 2008 adalah tahun dimana saya lulus SD. Sama sekali tak ada pikiran di benak saya untuk melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren. Sedikit pun tak ada sama sekali.

Ketika itu, pemikiran saya mengenai masa depan setelah lulus sekolah dasar tergolong lucu atau unik untuk anak seusia saya. Bukan apa-apa, saya hanya bercita-cita untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke SMP Negeri, lalu terus ke SMA Negeri, kemudian kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, dan selanjutnya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil. Ya, saya sangat terobsesi pada setiap instansi yang memiliki inisial ‘Negeri’ di dalamnya. Satu lagi, saya juga sangat tergila-gila untuk menyelesaikan masa pendidikan dengan secepat-cepatnya.

Sehingga wajar, jika bayangan akan melanjutkan jenjang pendidikan di program akselerasi salah satu SMP Negeri favorit, senantiasa memenuhi benak saya saat itu.

Sayang seribu sayang, semua impian itu hancur di kala saya dipanggil oleh kedua orang tua saya pada pagi hari Ahad yang cerah. Masa Depan Saya. Dalam obrolan itu, kedua orang tua saya mengutarakan dengan gamblang niat keduanya untuk menyekolahkan saya di sebuah sekolah swasta seusai lulus dari SD. Bukan sekedar sekolah swasta biasa, namun yang mereka maksudkan ialah sebuah Pondok Pesantren!!

(Setangkai Mawar untuk Ayah dan Bunda, Qaidi Azham Anwar)

———————————————————————————

“Nduk, kalau kamu ndak kuliah dulu bagaimana?”

Ibu tiba-tiba mengatakan itu sambil masih mengaduk dan membumbui masakan di atas kompor barunya. Pertama kalinya ada kompor gas di dapur kami. Kemarin pak RT datang membagikannya ke tiap rumah di dusun kami. Minyak tanah baru saja dikonversi ke elpiji.

“Aku ingin jadi guru, Buk. Aku ndak mau jualan bakso.”

“Iya. Ibu juga ndak pengen kamu jualan bakso kayak Bapak sama Ibu. Ibu pengennya kamu jadi sarjana, lalu PNS. Biar setiap bulan sudah ada pegangan. Tapi, Nduk, tabungan ibu belum cukup buat bayar uang masuk kuliah. Lha katamu di brosurnya 4-5 jutaan to?”

Aku terdiam, pisau dan bawang kuletakkan. Gontai langkahku menuju kamar. Tak ada sepatah kata pun kulisankan. Air mataku berbisik,

“Aku ingin jadi guru! Aku ingin jadi guru!”

Tapi aku juga tak bisa memaksa, sebab aku pun tak mau demi keinginanku Bapak Ibu berhutang berjuta-juta, mau pakai apa bayarnya. Aku pamit pergi ke sekolah. Sudah tidak ada pelajaran tentunya. Tapi di sekolah ada guru dan teman-teman yang mampu menyisihkan segala sedih dan kepenatan.

(Semangkuk Cinta, Dwis Riyuka)